Kamis, 29 April 2010

skripsi UJI EFIKASI

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

Epidemiologi penyakit Demam Berdarah Dengue berdasarkan Gandahusada (1998) adalah sebagai berikut:

a. Vektor

Vektor penular penyakit DBD adalah nyamuk Aedes. Terdapat 2 spesies Aedes yang menularkan penyakit ini yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Dari kedua spesies tersebut, yang paling banyak ditemukan adalah nyamuk Aedes aegypti. Penyebaran larva Aedes aegypti banyak ditemukan di dalam rumah seperti bak mandi, drum, tempat penampungan air dispenser, tempat penampungan refrigenerator, ban bekas, vas bunga, talang rumah, dan kolam ikan hias yang terbengkalai/tidak digunakan lagi. Adanya vektor ini berhubungan erat dengan beberapa faktor yaitu :

1) Kebiasaan masyarakat untuk menampung air bersih bagi kepentingan sehari-hari.

2) Sanitasi lingkungan kurang baik

3) Penyediaan air bersih yang langka.

b. Pejamu (host)

Semua orang rentan terhadap penyakit DBD, anak-anak biasanya menurunkan gejala lebih ringan dibandingkan orang dewasa. Cara penularan melalui gigitan nyamuk yang infektif, terutama nyamuk Aedes aegypti . Penderita menjadi infektif bagi nyamuk pada saat masa demam berakhir, biasanya berlangsung 3-5 hari, nyamuk menjadi infektif 8-12 hari sesudah menghisap darah penderita viremia dan tetap infektif selama hidupnya, masa inkubasi 4-7 hari.

c. Agen

Agen dari penyakit DBD adalah virus dengue yang merupakan kelompok Arthropod Borne Virus (Arboviruses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4).

d. Lingkungan (Environtmen)

Daerah yang terjangkit Demam Berdarah Dengue adalah wilayah yang ada penduduknya, karena :

1) Jarak antara rumah yang berdekatan memungkinkan penularan, sebab jarak terbang Aedes aegypti 40-100 meter.

2) Nyamuk Aedes aegypti betina mempunyai kebiasaan menggigit berulang yaitu menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat.

Dengan makin lancarnya hubungan lalu lintas, kota kecil mudah terserang DBD akibat penjalaran penyakit ini dari suatu sumber di kota besar.

Pengukuran kepadatan populasi nyamuk yang belum dewasa dilakukan dengan pemeriksaan tempat-tempat perindukan didalam dan diluar rumah dari 100 rumah yang terdapat di daerah pemeriksaan. Ada 3 ukuran/index larva nyamuk yang digunakan, yaitu house index (HI), persentase rumah yang ada Aedes aegypti, container index (CI), yaitu persentase container berisi air yang ditemukan larva, dan breteau index (BI), yaitu jumlah container yang positif per 100 rumah.

2. Pengendalian Vektor (Vector Control)

Pengendalian vektor bertujuan mengurangi atau menekan populasi vektor serendah-rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai penular penyakit. Pengendalian vektor berdasarkan Gandahusada (1998) adalah sebagai berikut:

a. Pengendalian Secara Alami

Berbagai contoh yang berhubungan dengan faktor ekologi yang sangat penting artinya bagi perkembangan serangga adalah :

1) Adanya gunung, lautan danau dan sungai yang luas yang merupakan rintangan bagi penyebaran serangga.

2) Ketidakmampuan mempertahankan hidup beberapa spesies serangga di daerah yang terletak di ketinggian tertentu dari permukaan laut.

3) Perubahan musim yang dapat menimbulkan gangguan pada beberapa spesies serangga, iklim yang panas, udara kering, angin besar dan curah hujan yang tinggi.

4) Adanya burung, katak, cicak, binatang lain yang merupakan pemangsa serangga.

5) Penyakit serangga.

b. Pengendalian Secara Buatan

Cara pengendalian ini adalah cara pengendalian yang dilakukan atas usaha manusia dan dapat dibagi menjadi :

1) Pengendalian Lingkungan

Pengendalian dilakukan dengan cara mengelola lingkungan, yaitu memodifikasi atau memanipulasi lingkungan, sehingga terbentuk lingkungan yang tidak cocok yang dapat mencegah atau membatasi perkembangan vektor.

a) Modifikasi Lingkungan

Cara ini paling aman terhadap lingkungan, yaitu tidak merusak keseimbangan alam dan tidak mencemari lingkungan, tetapi harus dilakukan terus-menerus. Sebagai contoh misalnya : pengaturan irigasi, penimbunan tempat-tempat penampungan air dan tempat-tempat pembuangan sampah, pengaliran air yang menggenang menjadi kering, pengubahan rawa menjadi sawah dan pengubahan hutan menjadi tempat permukiman.

b) Manipulasi Lingkungan

Cara ini berkaitan dengan pembersihan atau pemeliharaan sarana fisik yang telah ada supaya tidak terbentuk tempat-tempat perindukan atau tempat istirahat serangga.

2) Pengendalian Kimiawi

Pengendalian kimiawi yaitu segala macam cara pengendalian vektor dengan menggunakan bahan kimia, baik bahan kimia sebagai racun (insektisida) atau hanya untuk menghalau serangga saja (repellent), sebagai bahan penghambat pertumbuhan atau sebagai hormon.

Kebaikan cara pengendalian ini ialah dapat dilakukan dengan segera, meliputi daerah yang luas, sehingga dapat menekan populasi serangga dalam waktu yang singkat. Keburukannya karena cara pengendalian ini hanya bersifat sementara, dapat menimbulkan resistensi serangga terhadap insektisida dan mengakibatkan matinya beberapa pemangsa. Juga banyak penduduk yang menolak rumah mereka disemprot, karena khawatir terjadinya kematian binatang-binatang yang dipelihara. Contoh cara ini adalah :

a) Pengabutan/fogging

Pengendalian Aedes aegypti pengabutan dilakukan pada pagi hari. Pengabutan tidak mempunyai efek residual, sehingga perlu dilakukan dengan ulangan dan dikombinasikan dengan pemberantasan jentik/larva. Pengabutan digunakan untuk memutus rantai penularan. Pengabutan dilakukan pada pagi hari akan membunuh nyamuk yang sudah ada, tetapi tidak mempunyai dampak untuk nyamuk yang menetas pada sore hari berikutnya. Jadi selama masih ada sumber yang dapat ditularkan, maka penularan DBD masih akan berlangsung.

b) Larvasida (larviciding)

Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti adalah tempat-tempat yang berisi air bersih yang berdekatan letaknya dengan rumah penduduk dan tidak bersentuhan langsung dengan tanah. Maka insektisida yang digunakan harus sudah diketahui betul-betul aman untuk manusia. Pemakaian parisgreen, temefos dan fention untuk membunuh larva nyamuk. Pengendalian kimiawi sebagai larvasida ini hanya sebagai metoda pelengkap untuk basis sanitasi, biasanya dilakukan terutama didaerah endemis dimana diperlukan untuk menjaga populasi Aedes aegypti serendah mungkin.

Penggunaan larvasida dalam pengendalian larva nyamuk mempunyai keuntungan dan kerugian.

(1) Keuntungan pemakaian larvasida antara lain :

(a) Kematian larva dari berbagai stadium dapat terbunuh

(b) Daerah yang disemprot dengan larvasida terbatas pada tempat perindukan

(2) Kerugian pemakaian larvasida antara lain:

(a) Pengaruh larvasida bersifat sementara sehingga diperlukan aplikasi ulang

(b) Beberapa larvasida mempunyai pengaruh yang tidak menguntungkan terutama predator atau pemangsa larva sehingga tidak tercapainya pemberantasan secara biologik.

Penggunaan larvasida perlu diperhatikan beberapa faktor, faktor tersebut yaitu :

(1) Formulasi pestisida, antara lain mencakup :

(a) Dosis dan cara aplikasinya

(b) Sifat fisik, sifat kimia, dan daya racunnya

(c) Biaya

(d) Bahan pelarut dan pencampurannya

(2) Kemampuan larvasida bertahan di air

(3) Jenis larvasida

3) Pengendalian Mekanik

Pengendalian ini dilakukan dengan menggunakan alat yang langsung dapat membunuh, menangkap atau menghalau, menyisisir, mengeluarkan serangga dari jaringan tubuh. Menggunakan baju pelindung, memasang kawat kasa di jendela merupakan cara untuk menghindarkan hubungan antara manusia dan vektor.

4) Pengendalian Fisik

Pada cara pengendalian ini digunakan alat fisika untuk pemanasan, pembekuan dan penggunaan alat listrik untuk pengadaan angin, penyinaran cahaya yang dapat membunuh atau untuk mengganggu kehidupan serangga. Suhu 60°C dan suhu beku, akan membunuh serangga, sedangkan suhu dingin menyebabkan serangga tidak mungkin melakukan aktifitasnya, selain itu dengan memasang lampu kuning dapat menghalau nyamuk.

5) Pengendalian Biologik

Pengendalian biologi merupakan semua cara pengendalian dengan menggunakan mahluk lain yang merupakan musuh-musuh alami nyamuk. Beberapa parasit dari golongan nematoda, bakteri, protozoa, jamur dan virus dapat dipakai sebagai pengendali larva nyamuk. Artropoda juga dapat dipakai sebagai pengendalian larva nyamuk terdiri dari beberapa jenis ikan seperti ikan mujair, larva capung dan crustacea juga cara alternatif yaitu mengintroduksi musuh alamiahnya yaitu larva nyamuk Toxorhyncites sp. Predator larva Aedes aegypti.

6) Pengendalian Genetika

Pengendalian bertujuan mengganti populasi serangga yang berbahaya dengan populasi baru yang tidak merugikan. Beberapa cara mengubah kemampuan reproduksi dengan jalan memandulkan serangga jantan.

Mengawinkan antar strain nyamuk dapat menyebabkan sitoplasma telur tidak dapat ditembus oleh sperma sehingga tidak terjadi pembuahan, disebut sytoplasmic incompatibility. Mengawinkan serangga antar spesies terdekat akan mendapatkan keturunan jantan yang steril disebut hybrid sterility. Adanya sifat rentan terhadap insektisida dapat dipakai pula untuk pengendalian genetik ini. Semua cara pengendalian dengan genetika diatas baru taraf penyelidikan, belum pernah berhasil baik di lapangan.

7) Pengendalian Legislatif

Untuk mencegah tersebarnya serangga berbahaya dari satu daerah ke daerah lain atau dari luar negeri ke Indonesia, diadakan peraturan dengan sangsi pelanggaran pemerintah. Pengendalian karantina di pelabuhan laut dan pelabuhan udara bermaksud mencegah masuknya hama tanaman dan vektor penyakit. Demikian pula penyemprotan insektisida di kapal yang berlabuh atau kapal terbang yang mendarat di pelabuhan udara. Keteledoran oleh karena tidak melaksanakan peraturan-peraturan karantina yang menyebabkan perkembangbiakan vektor nyamuk dapat dihukum menurut undang-undang.

3. Insektisida

Insektisida adalah bahan kimia yang bersifat racun yang digunakan untuk meracuni serangga. Insektisida yang digunakan dalam kesehatan masyarakat dianggap perlu memenuhi persyaratan sebagai berikut:

- Insektisida tersebut sedapat mungkin selektif. Hanya serangga sasaran yang terbunuh, tetapi aman untuk serangga lain terutama serangga yang bermanfaat.

- Bahaya terhadap manusia dan hewan piaraan ringan.

- Biaya termasuk pengadaan bahan dan biaya operasional relatif ringan.

- Aplikasi mudah.

- Status kekebalan vektor terhadap insektisida bersangkutan masih memungkinkan.

a. Klasifikasi Insektisida

1) Berdasarkan cara kerjanya (mode of action)

(a) Peracun fisik, bekerja secara fisik misalnya menyebabkan dehidrasi.

(b) Peracun protoplasma, bekerja dengan mengendapkan protein dalam tubuh serangga.

(c) Peracun pernafasan, bekerja dengan jalan menghambat aktifitas enzim pernafasan.

2) Berdasarkan cara masuk (mode of entry)

(a) Insektisida yang masuk melalui makanan merupakan peracun lambung yang mengganggu pencernaan (stomach poisons).

Insektisida masuk ke dalam badan serangga melalui mulut, jadi harus dimakan. Biasanya serangga yang diberantas dengan menggunakan insektisida ini mempunyai bentuk mulut menggigit, lekat isap, kerat isap dan bentuk menghisap.

(b) Insektisida yang masuk dari kutikula, serangga mengalami kontak langsung dengan bahan kimia (contact poisons).

Insektisida masuk melalui eksoskelet ke dalam badan serangga dengan perantaraan tarsus (jari-jari kaki) pada waktu istirahat di permukaan yang mengandung residu insektisida. Pada umumnya dipakai untuk memberantas serangga yang mempunyai mulut tusuk isap.

(c) Insektisida yang masuk melalui alat pernafasan (fumigants)

Insektisida masuk melalui sistem pernafasan (sperakel) dan juga melalui permukaan badan serangga. Insektisida ini dapat digunakan untuk memberantas semua jenis serangga tanpa harus memperhatikan bentuk mulutnya. Penggunaan insektisida ini harus hati-hati sekali terutama bila digunakan untuk pemberantasan serangga di ruang tertutup.

3) Berdasarkan struktur kimia

Pembagian insektisida berdasarkan susunan kimia dari bahan yang dihasilkan oleh alam misal nikotin, retenon, piretrum yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan dan yang dihasilkan oleh pabrik sebagai bahan sintetis misal DDT (Dikloro difenil trikloroetan).

b. Uji Efikasi Insektisida

Uji efikasi insektisida adalah kekuatan atau daya bunuh insektisida yang digunakan untuk pemberantasan vektor cara kimiawi terhadap nyamuk maupun larva/jentik.

Kriteria Keberhasilan Uji:

Kriteria efikasi insektisida yang dilakukan di laboratorium ditentukan berdasarkan persentasi kelumpuhan dan kematian serangga uji pada periode waktu tertentu. Koreksi angka kelumpuhan dan kematian dilakukan apabila angka kelumpuhan dan kematian pada kelompok kontrol lebih dari 5% tetapi tidak melebihi angka 20%, maka angka kelumpuhan dan kematian pada perlakuan dikoreksi dengan Rumus Abbot :

100

Keterangan :

AL = % kematian setelah dikoreksi

A = % kematian nyamuk uji

B = % kematian nyamuk kontrol

Apabila persentase kematian pada kontrol lebih besar dari 20% pengujian dianggap gagal dan harus diulang.Hasil pengulangan dianggap efektif bila kematian nyamuk uji kurang dari nilai tersebut.

Uji patogenisitas terhadap larva/jentik nyamuk dilakukan menurut prosedur WHO untuk memperoleh nilai LC50 dan LC90 yang dihitung dengan analisis probit yaitu analisis untuk mengetahui statistik suatu estimate dari rangkaian percobaan. Hasil menunjukan pengujian insektisida memberikan hasil yang efektif (98%-100%) sesuai dengan kriteria yang dikeluarkan oleh Komisi Pestisida.

c. Dosis Insektisida

Dosis adalah jumlah insektisida dalam liter atau kilogram yang digunakan untuk mengendalikan vektor tiap satuan luas tertentu. Dosis bahan aktif adalah insektisida yang dibutuhkan untuk keperluan satuan luas atau satuan volume larutan.

Toksisitas insektisida merupakan kemampuan untuk membunuh kehidupan biologis. Berdasarkan Djoyosumarto (2000) toksisitas insektisida dinyatakan dalam :

1) Lethal dose 50 (LD50), yaitu dosis yang diperlukan (dalam mg) untuk mematikan 50% binatang percobaan, dinyatakan dalam mg/Kg BB.

2) Lethal concentration 50 (LC50), yaitu konsentrasi yang dibutuhkan untuk mematikan 50% binatang percobaan dalam jangka waktu tertentu.

3) Lethal time 50 (LT50), yaitu waktu yang diperlukan untuk mematikan 50% binatang percobaan pada dosis atau konsentrasi tertentu.

d. Konsentrasi Insektisida

Berdasarkan Djoyosumarto (2000) ada tiga macam konsentrasi yang perlu diperhatikan dalam penggunaan insektisida:

1) Konsentrasi bahan aktif, yaitu persentase bahan aktif suatu insektisida dalam larutan yang sudah dicampur dengan pelarut.

2) Konsentrasi formulasi, yaitu banyaknya insektisida dalam cc atau gram setiap liter pelarut.

3) Konsentrasi larutan atau konsentrasi insektisida yaitu persentase kandungan insektisida dalam suatu larutan jadi.

Konsentrasi larutan menyatakan banyaknya zat terlarut dalam suatu larutan. Apabila zat terlarut banyak sekali sedangkan pelarutnya sedikit, maka dikatakan bahwa larutan itu pekat atau konsentrasinya sangat tinggi. Sebaliknya bila zat terlarut sedikit sedangkan pelarutnya sangat banyak, maka dikatakan bahwa larutan itu encer atau konsentrasinya sangat rendah.

Konsentrasi dapat dinyatakan dalam beberapa cara yaitu persen volum, persen masa, molaritas, normalitas, molalitas, dan fraksi mol.

Molaritas menyatakan jumlah mol yang terlarut dalam 1 liter larutan. Dalam laboratorium biasa dilakukan pembuatan larutan dengan molaritas tertentu. Banyak zat di laboratorium yang dibeli dalam bentuk larutan dengan konsentrasi tinggi. Maka untuk menurunkan konsentrasi tersebut perlu dilakukan pengenceran. Pengenceran merupakan proses penambahan pelarut pada suatu larutan. Bila volum suatu larutan dikalikan dengan molaritasnya akan diperoleh jumlah mol zat terlarut. Hal itu yang menjadi dasar pembuatan larutan dilaboratorium. Dalam rumus pengenceran pun dapat dilihat bahwa penambahan air atau zat pelarut akan menurunkan konsentrasi larutan. Rumusnya :

V1 . C1 = V2 . C2

Jika V1 adalah volume pekat dan C1 adalah konsentrasi pekat. Kemudian ditambahkan pelarut untuk proses pengenceran sehingga menjadi V2 (Volume encer) maka C2 sebagai konsentrasi pengenceran yang memiliki konsentrasi lebih kecil dari pada konsentrasi sebelumnya. Jadi intinya pengenceran dapat menurunkan harga konsentrasi.

e. Uji Bio Assay

Uji bio assay adalah metode yang digunakan untuk mengetahui efektif atau tidaknya insektisida yang digunakan terhadap vektor terutama vektor demam berdarah dalam program pemberantasan vektor.

Tujuan :

1) Untuk mengetahui daya bunuh insektisida yang digunakan dalam pemberantasan vektor

2) Untuk menganalisis efek residu, kualitas insektisida (efikasi) yang digunakan dalam pemberantasan vektor.

Beberapa cara Uji Bio Assay, yaitu :

1) Uji bio assay kontak (sentuhan) dilakukan terhadap insektisida dengan efek residu, misal: DDT, malathion, fenitrothion, dan lain-lain.

2) Uji bio assay untuk tekanan uap/penguapan (fumigant), dilakukan terhadap racun serangga yang mempunyai efek fumigasi yang mematikan serangga, misal : HCI, propoxur, dan lain-lain.

3) Uji bio assay untuk pengasapan/pengabutan dengan partikel-partikel kecil insektisida yang dikeluarkan oleh pengabutan (fogging).

Dasar pemikiran :

Kekuatan atau daya bunuh insektisida yang digunakan untuk pemberantasan vektor secara kimiawi, baik untuk pemberantasan vektor stadium dewasa (nyamuk) maupun jentik atau larva perlu diukur. Kecuali daya bunuhnya terhadap serangga sasaran (yang masih rentan), efek residual insektisida yang digunakan perlu pula diketahui. Untuk keperluan tersebut di atas perlu digunakan suatu alat Uji Bio Assay.

Uji Bio Assay untuk larva/jentik :

1) Dasar kerja Bio Assay

Memasukan larva/jentik dari spesies tertentu dari koloni laboratorium, selama jangka waktu ke dalam suatu tempat yang telah diberikan larvasida.

2) Maksud dan Tujuan

Penilaian langsung dengan segera terhadap efek daya racun dari larvasida pada tempat yang telah diberikan larvasida.

3) Prosedur Uji Bio Assay

Bahan dan cara kerja

(a) Lokasi pengujian

(b) Alat dan bahan pengujian

(c) Cara pengujian

(d) Pengamatan

4. Tembakau (Nicotiana tabacum L.)

a. Asal Usul Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum L.)

Tanah asal tembakau ialah Amerika. Diketemukan pertama-tama oleh COLOMBUS pada tahun 1942, ketika mendarat di pulau Guanakani (San Salvador). Pada 2 November 1492 rombongan colombus melihat sebuah perahu lesung orang indian yang berisi muatan, diantaranya daun-daun kering yang kelak dikenal tembakau. Kedatangan Eropa ke “ Dunia Baru” 50-an tahun lalu itu menjadi awal perkenalan dunia luar Amerika kepada tembakau hingga banyak pendatang Eropa datang ke sana. Satu tahun kemudian, tembakau jenis Nicotiana tabacum L. dan Nicotiana rustica L. dibudidayakan orang indian Amerika yang dikenal di seluruh dunia (Sukendro, 2007).

Perancis mengenal tembakau lewat Andre Thevet dan Jean Nicot. Semenjak 1560, penanaman tembakau sudah mulai berkembang di Perancis. Pada 1573, Nicot dengan beberapa orang sarjana menerbitkan kitab logat bahasa Perancis-Latin, yang pada halaman 478 dijumpai istilah Nicotiane untuk jenis tanaman obat (Sukendro, 2007).

Tembakau di Portugis mulai tumbuh pada 1558. Di Spanyol tanaman tembakau pertama kali masuk sebagai tanaman hias dan kemudian sebagai obat. Jenis tembakau yang berkembang disana saat itu adalah jenis Nicotiana tabacum L. (Sukendro, 2007).

Masuknya tanaman tembakau di Indonesia tidak diketahui dengan pasti, banyak dugaan bahwa tembakau didatangkan oleh bangsa protugis kurang lebih pada tahun 1600. Tetapi banyak pula yang mengatakan bahwa tanaman tembakau pertama-tama didatangkan langsung dari Mexico melalui Philipina dan kemudian dari Philipina tersebar meluas ke seluruh Asia, termasuk Indonesia.

Nama umum/dagang dari tembakau adalah Tembakau, industri tembakau di Indonesia dimulai bersamaan dengan berkuasanya kolonial Belanda yaitu sekitar abad ke-17. Sejak saat itu VOC melakukan penanaman tembakau secara besar-besaran di Indonesia (Sukendro, 2007).

b. Klasifikasi Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum L.)

Berdasarkan Wikipedia (2008) tembakau (Nicotiana tabacum Linn.) diklasifikasikan sebagai berikut :

Regnum : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Sub Divisio : Angiospermae

Classis : Dicotyledonae

Ordo : Solanales

Familia : Solanaceae

Genus : Nicotiana

Species : Nicotiana tabacum Linn.

c. Ciri-ciri Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum L.)

1) Deskripsi tumbuhan

Semak, semusim, tinggi ± 2 m. Batang berkayu, bulat, berbulu, diameter ± 2 cm, dan warna hijau. Daun Tunggal, berbulu, bulat telur, tepi rata, ujung runcing, pangkal tumpul, panjang 20-50 cm, lebar 5-30 cm, tangkai daun panjang 1-2 cm, hijau keputih-putihan. bunga majemuk dan tumbuh di ujung batang. Kelopak bunga berbulu, pangkal berlekatan. ujung terbagi lima, tangkai bunga berbulu dan berwarna hijau. Benang sari lima, kepala sari abu-abu, putik panjang 3-3,5 cm, kepala putik satu, putih, mahkota bentuk terompet, merah muda. Buah kotak, berbentuk bulat telur, masih muda hijau setelah tua coklat. Biji kecil, coklat. Akar tunggang, putih. Perbanyakan dilakukan dengan biji. Tanaman tembakau secara umum dapat hidup dalam iklim yang panas maupun iklim dingin (Kardinan, 2002).

2) Bagian tumbuhan yang digunakan

Daun dan batang. Umumnya yang digunakan adalah daunnya, tetapi agar lebih praktis dalam pengolahannya banyak petani yang menyertakan batangnya juga. Daun dapat digunakan langsung dalam keadaan segar dan menghaluskannya terlebih dahulu. Cara lainnya adalah dengan mengeringkannya lalu dihaluskan menjadi bentuk tepung (Kardinan, 2002).

d. Kandungan Kimia Alamiah Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum L.)

Tanaman tembakau telah dikenal sejak tahun 560 dan mulai digunakan sebagai rokok di dunia Barat (Inggris) oleh Walter Raleigh pada tahun 1585. Pada tahun 1960 ekstrak nikotin mulai digunakan sebagai racun serangga penghisap pada kebun-kebun.

Senyawa paling tinggi yang dikandung dalam tembakau adalah nikotin. Sebanyak 5% berat tembakau ialah nikotin. Formula kimia untuk nikotin ialah C10H14N2. Di dalam sistem IUPAC, namanya ialah 3-(2-(N-ethhylprrolidinyl)) pyridine. Nikotin adalah bahan larut air dan boleh diekstrak dengan membiarkan irisan tembakau direndam dalam air selama 12 jam. Nikotin merupakan racun saraf yang bereaksi cepat (potent nerve poison) dan digunakan dalam racun serangga (Wikipedia 2008).

Nikotin berperan sebagai racun kontak bagi serangga seperti: ulat perusak daun, aphids, triphs, dan pengendali jamur (fungisida). Daun tembakau dapat dipakai dalam bentuk irisan segar atau tepung yang dibuat dari daun kering. Tembakau dapat dipakai sebagai insektisida botani, formulasi yang mulai diperdagangkan mengandung 40% nikotin sulfat (Novizan, 2002).

e. Kegunaan Tanaman Tembakau (Nicotiana tabacum L.)

Secara tradisional, tanaman ini dapat digunakan sebagai tanaman obat, daun tembakau (Nicotiana tabacum L.) berkhasiat sebagai obat untuk membersihkan luka yang kotor dan borok. Getah daunnya bisa dipakai untuk membersihkan kotoran pada luka bernanah. Rebusan daun keringnya berkhasiat sebagai obat cacing (Sukendro, 2007).

f. Mekanisme Kerja Tembakau (Nicotiana tabacum L.)

Nikotin merupakan racun saraf beraksi sangat cepat. Aksi ini umumnya selektif untuk beberapa jenis serangga. Walaupun nikotin dapat dengan cepat meracuni serangga, setelah beberapa hari racun nikotin akan cepat hilang akibat terurai oleh faktor-faktor lain sehingga tidak mampu melindungi tanaman untuk jangka waktu yang panjang (Novizan, 2002). Tembakau dapat bersifat repellent (penolak serangga), fungisida; akarisida yang bekerja secara racun kontak, perut, dan pernapasan serta bersifat sistemik. Tembakau juga dapat mengendalikan beberapa macam penyakit tanaman dan nematoda (Litbangkes, 2006).

g. Efek Farmakologi

Daun tembakau sebagai penghasil protein bahan baku obat, antibodi, dan antivirus dengan menggunakan bioteknologi yang dapat menghasilkan biofarmasetik (Dodi Hidayat, 2007).

Sebuah hasil penelitian dari DR Arief Budi Witarto, seorang peneliti dari pusat penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyatakan bahwa ternyata tembakau dapat pula menghasilkan protein anti kanker yang berguna bagi penderita kanker, dan dapat digunakan untuk menstimulasi perbanyakan sel tunas (stemcell) yang bisa dikembangkan untuk memulihkan jaringan fungsi tubuh yang sudah rusak (Sukendro, 2007).

5. Nyamuk Aedes aegypti

a. Klasifikasi

Klasifikasi nyamuk Aedes aegypti adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Artropoda

Sub phylum : Mandibulata

Classis : Insecta

Subclassis : Pterigota

Ordo : Diptera

Sub ordo : Nematocera

Familia : Culicidae

Sub Famili : Culicinae

Genus : Aedes

Species : Aedes aegypti

b. Sifat-sifat Biologis Nyamuk Aedes aegypti

1) Tahapan metamorfosis nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti seperti juga nyamuk Anophelini lainnya mengalami metamorfosis sempurna. Nyamuk betina metelakkan telurnya pada dinding tempat perindukannya. Seekor nyamuk betina dapat meletakan rata-rata sebanyak 100 butir telur tiap kali bertelur (Gandahusada, 2003).

2) Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti mempunyai siklus hidup sebagai berikut :

a) Telur-larva = 2-3 hari

b) Larva-pupa = 4-9 hari

c) Pupa-dewasa = 1-2 hari

d) Telur-dewasa = 7-14 hari

DBD_01


Gambar 2.1

Siklus Biologis Nyamuk Aedes aegypti

c. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti

Morfologi vektor Demam Berdarah Dengue mempunyai ciri-ciri seperti berikut : ukuran lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lainnya, berwarna hitam dan terdapat garis dan titik putih pada badan, kaki serta sayapnya.

1) Bila terdapat di air, jentik vektor Aedes aegypti membuat posisi sudut kurang lebih sekitar 60% dari permukaan air, posisi kepala berada di bawah.

2) Telur vektor Demam Berdarah Dengue berbentuk lojong agak memipih dan berwarna kekuningan, bila telah matang warnanya agak gelap (hitam). Pada umumnya telur menempel pada dinding kontainer di atas permukaan air. Telur dapat bertahan sampai beberapa bulan bila keadaan sekitarnya lembab.

Berdasarkan Depkes RI (2005) Aedes aegypti mempunyai morfologi sebagai berikut :

1) DBD_02Telur

Gambar 2.2

Telur Nyamuk Aedes aegypti

a) Tanpa pelampung

b) Diletakkan satu persatu pada dinding bejana

c) Berwarna agak gelap

d) Ukuran sangat kecil 0.7 mm

e) Tahan sampai 6 bulan di tempat kering

Telur Aedes aegypti mempunyai dinding yang bergaris-garis dan menyerupai gambaran kain kasa. Larva Aedes aegypti mempunyai pelana yang terbuka dan gigi sisir berduri lateral (Gandahusada, 1998).

2) Larva

Gambar 2.3

Larva Aedes aegypti

DBD_03,DBD_03


Larva nyamuk jenis ini dapat bertahan hidup dalam air bersih pada kontainer alamiah atau buatan dengan hanya membutuhkan sedikit makan. Larva berbentuk panjang tanpa kaki dengan jumlah rambut sederhana atau bercabang lateral yang tersusun secara simetrik sepanjang tubuhnya.

Ada 4 tingkat (instar) larva sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu:

a) Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm, hidupnya ± 1 hari.

b) Instar II : 2,5-3,8 mm, hidupnya ± 1-2 hari.

c) Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II, hidupnya ± 2 hari.

d) Instar IV : berukuran paling besar 5 mm, hidupnya ± 2-3 hari.

Lamanya periode larva ini berlangsung selama tujuh hari pada keadaan iklim tropis dan dengan makan yang cukup kepala larva mempunyai mata majemuk, antena berbulu dan bagian mulut yang dipergunakan untuk menggigit. Abdomen mempunyai delapan ruas yang mengandung dua lubang udara (spiracle).

Lubang anus dikelilingi empat tonjolan yang disebut insang anal. Larva memperoleh makanan dengan menyapu-nyapu benda dengan sudut mulutnya dari permukaan air. Ganggang, bakteri dan bahan-bahan kecil sebesar 20-100 mikron merupakan makanan larva. Larva berenang dengan gerakan terhenti-henti, timbul ke permukaan untuk bernafas.

Larva Aedes aegypti morfologinya mirip dengan larva Aedes albopictus, perbedaannya yang terlihat adalah bentuk sisir (com- scale). Pada Aedes aegypti berduri lateral sedangkan pada Aedes albopictus tidak mempunyai duri lateral hanya mempunyai duri.

3) DBD_04Kepompong/Pupa

Gambar 2.4

Pupa Aedes aegypti

Pupa merupakan larva stadium keempat yang bentuknya bengkok dengan kepala besar yang mirip dengan bentuk tanda tanya. Pupa mempunyai terompet untuk bernafas pada thorax, suatu kantong udara yang terletak diantara bakal sayap pada bentuk dewasa dan sepasang pengayuh yang saling menutupi dengan rambut-rambut pada ruas abdomen terakhir. Pengayuh ini memungkinkan pupa untuk menyelam cepat, dengan mengadakan serangkaian jungkiran sebagai reaksi terhadap rangsangan. Pupa sangat mudah musnah bila dibekukan atau dikeringkan. Stadium pupa tanpa makan ini berlangsung 2-5 hari tetapi dapat diperpanjang sampai 10 hari pada suhu rendah, dibawah suhu 100C tidak ada perkembangan. Waktu menetes, kulit tersobek oleh gelembung udara dan oleh kegiatan insekta bentuk dewasa yang melepaskan diri (Soemarno, 1998).

4) DBD_05Nyamuk dewasa

Gambar 2.5

Nyamuk Aedes aegypti

Stadium ini terjadi di udara, kepompong menjadi nyamuk muda. Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki.

Berdasarkan Prasetyowati (2003) morfologi nyamuk Aedes aegypti dapat diketahui sebagai berikut :

(1) Kepala (Cepallus)

(a) Terdiri dari antena, probosis, palpi, mata

(b) Probosis (alat mulut) diapit oleh sepasang palpi atau belalai

(c) Mata terdiri dari sepasang mata majemuk yang hampir menutupi sebagian besar kepala.

(d) Antena terdiri dari rambut-rambut yang tertanam pada” maxillary palp”.

(2) Dada (Thorax)

(a) Tiga bagian : dada depan (prothorax), dada tengah (mesothorax), dan dada belakang (metathorax).

(b) Terdapat tiga pasang kaki dan sepasang sayap dan halter

(c) Bagian posterior terdapat scutellum

(3) Perut (Abdomen)

Abdomen terdiri dari delapan segmen dan dibagian ujungnya terdapat circus (alat kelamin). Setiap ruas atau segmen di bagian dorsal terbentuk tergit dan bagian ventral dengan sternit. Antara tergit dan sternit dihubungkan oleh pleural membran.

Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang dengan tubuh berwarna hitam kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan gari-garis putih keperakan. Di bagian punggung (dorsal) tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari spesies ini. Sisik-sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok atau terlepas sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua. Ukuran dan warna nyamuk jenis ini kerap berbeda antar populasi, tergantung dari kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama perkembangan. Nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan dalam hal ukuran nyamuk jantan yang umumnya lebih kecil dari betina dan terdapatnya rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat diamati dengan mata telanjang.

Ciri Utama Genera Nyamuk Aedes aegypti

a) Perbandingan panjang proboscis dengan palpi ± 1/4-1/5 Proboscis

b) Cerci (pada abdomen) menonjol

c) Sisik pada sayap simetris

d) Tidak ada pulvili

e) Scutelum dengan tiga lobus

f) Sisik pada sayap simetris

d. Berdasarkan Tempat Hidup

Tempat perkembangbiakan utama ialah tempat-tempat penampungan air berupa genangan air yang tertampung disuatu tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembang di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah.

Jenis perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti dapat dikelompokan sebagai berikut:

1) Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari, seperti : drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan ember.

2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari seperti : tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang bekas (ban, kaleng, botol, plastik dan lain-lain).

3) Tempat penampungan air alamiah seperti : lobang pohon, lobang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu.

e. Daur Hidup

Daur hidup nyamuk, nyamuk betina meletakan telur di tempat perkembangbiakannya, kemudian dalam beberapa hari telur menetas menjadi jentik, berkembang menjadi kepompong, dan akhirnya menjadi nyamuk yang keseluruhannya memerlukan waktu kurang lebih 7-10 hari. Dalam tempo 1-2 hari nyamuk yang baru menetas (yang betina) akan menggigit (menghisap darah) manusia dan siap untuk melakukan perkawinan dengan nyamuk jantan (Depkes RI, 2003).

Setelah menghisap darah nyamuk beristirahat sambil menunggu proses pematangan telurnya. Tempat istirahat yang paling disukai adalah tumbuh-tumbuhan atau benda tergantung di tempat gelap dan lembab, dekat dengan tempat perkembangbiakannya. Siklus menghisap dan bertelur ini berulang setiap 3-4 hari. Bila menghisap darah seseorang penderita DBD atau carrier, maka nyamuk ini seumur hidupnya dapat menularkan virus itu. Umur nyamuk betina rata-rata 2-3 bulan (Depkes RI, 2003).

f. Distribusi dan Fluktuasi Penyebaran

Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 meter, maksimal 100 meter, namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan dapat berpindah lebih jauh.

Aktivitas nyamuk menggigit betina biasanya mulai pagi sampai petang hari dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00 – 17.00. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menghisap darah berulang kali (multiple bites) dalam satu siklus gonotropik untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat efektif sebagai penular penyakit.

Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan subtropis. Di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembangbiak sampai ketinggian daerah ±1.000 m dari permukaan air laut. Di atas ketinggian 1.000 m tidak dapat berkembangbiak, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes RI, 2005).

g. Variasi Musiman

Pada musim hujan tempat perkembangbiakan Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi air. Telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas. Selain itu pada musim hujan semakin banyak tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan sebagai tempat perkembangbiakannya nyamuk ini. Oleh karena itu pada musim hujan populasi Aedes aegypti meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan penularan penyakit dengue (Depkes RI, 2005).

B. Kerangka Konsep dan Kerangka Kerja

1. Kerangka Konsep

Bagian kerangka konsep penelitian ini adalah :


Gambar 2.6

Struktur Kerangka Konsep

2. Kerangka Kerja


Text Box: Tidak efektif bila kematian pada kontrol >20%

Efektif bila kematian pada kontrol > 5% dan < 20%


Gambar 2.7

Kerangka Kerja

C. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah berapakah konsentrasi larutan ekstrak tembakau (Nicotiana tabacum L.) yang dibutuhkan untuk membunuh 50% dan 90 % populasi larva nyamuk Aedes aegypti pada instar III dan IV?

1 komentar:

  1. assalamualaikum mbaa...boleh minta file lengkapnya? kebetulan skripsi saya juga ttg uji efikasi bioinsektisida...

    BalasHapus